WAJIB PAJAK untuk Transportasi Online dapat menambah Pendapatan Negara
WE Online, Jakarta - Gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama meminta pihak pemilik ataupun pengelola layanan
transportasi berbasis aplikasi dalam jaringan atau daring (online) agar
memenuhi kewajibannya membayar pajak.
"Sama seperti
angkutan umum konvensional, layanan transportasi online yang beroperasi di
wilayah DKI Jakarta juga harus membayar pajak," kata Basuki di Balai Kota,
Jakarta Pusat, Selasa (15/3/2016).
Menurut dia, setiap
pengusaha angkutan di Jakarta diwajibkan untuk membayar sekitar 25 hingga 28
persen dari total pendapatannya setiap tahun. Pajak tersebut seharusnya juga
dibayarkan oleh transportasi aplikasi.
Dia mengatakan,
apabila pengelola layanan transportasi daring tersebut tidak membayar pajaknya,
maka tentu saja tarif yang diberlakukan bisa lebih murah dibandingkan angkutan
konvensional.
"Transportasi
online itu pasti lebih murah karena kan tidak harus bayar pajak, bayar asuransi
dan lain-lain. Sedangkan angkutan umum konvensional dan taksi harus memenuhi
kewajiban untuk membayar pajak tersebut," ujar Basuki.
Oleh karena itu, dia
pun meminta pengelola layanan transportasi daring agar segera mendaftarkan diri
ke Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) DKI Jakarta sehingga dapat
bersaing secara sehat dengan angkutan konvensional.
"Mungkin memang
kedepannya pengelolaan transportasi, terutama taksi akan berubah, yakni dengan
memanfaatkan teknologi aplikasi. Tapi tetap saja harus bayar pajak. Semuanya
harus bersaing secara sehat," tutur Basuki.
Lebih lanjut, dia
mengungkapkan layanan transportasi aplikasi, seperti Grab dan Uber bisa saja
menggunakan plat hitam layaknya rental mobil. Namun, tetap harus terdaftar di
Dishubtrans DKI Jakarta.
"Harus ada
keadilan. Boleh-boleh saja Grab atau Uber pakai plat hitam, jadi seperti semacam
taksi sewa. Tapi, harus mendaftar sebagai pengusaha yang menyewakan taksi.
Artinya, harus ada tanda atau logo khusus yang dipasang di mobilnya,"
ungkap Basuki. (Ant)
Liputan6.com, Jakarta - Layanan transpotasi motor (ojek) dan taksi online yang makin marak
memicu perdebatan di kalangan sejumlah pihak. Bahkan Gubernur DKI Jakarta,
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tak melarang keberadaan layanan tersebut asal
menyetor pajak dengan benar.
Direktur Jenderal/Dirjen Pajak Kementerian Keuangan, Sigit Priadi
Pramudito mengungkapkan, potensi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) dari
layanan Go-Jek, Uber Taxi, Grabtaxi maupun Grab Bike cukup besar.
Bayangkan saja ada
sekira 2.000 orang lebih pengemudi ojek yang tergabung dalam Gojek dan tersebar
di Jabodetabek. Belum lagi komunitas Grab Bike dan layanan sejenisnya.
Jika ribuan orang
ini dipungut PPh dari hasil pemotongan gajinya, maka negara akan mendapat
tambahan penerimaan pajak. Namun dia mengaku belum menghitung penerimaan yang
bisa dikantongi negara dari layanan transportasi berbasis online ini.
"Potensi pajak
Go-Jek dan sejenisnya belum tahu berapa, tapi mungkin lumayan besar ya karena
sudah mendunia. Semua orang yang memperoleh penghasilan termasuk pengojeknya
harus setor pajak, entah melalui perhitungan perusahaan dan lainnya," kata
Sigit saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis
Minggu (28/6/2015).
Dalam hal ini,
sambungnya, pemerintah pusat bekerjasama dengan Menteri Komunikasi dan
Informatika untuk melihat payment gateway atau sebuah aplikasi
e-commerce yang menyediakan jasa.
"Semua yang
menambah penghasilan harus kena PPh, misalnya seperti Traveloka dan Agoda,
berapa hotel bayar mereka. Fee tersebut yang harus dikejar pajaknya, dan
ini yang masih sulit," papar dia.
Sekadar informasi,
Deni Herdani, salah seorang pengendara ojek di gojek Indonesia mengklaim
pendapatannya sebagai tukang ojek cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
keluaganya. Bahkan, dia mengaku pekerjaannya itu memberikan penghasilan yang
lebih tinggi daripada upah minimum regional (UMR) Jakarta.
"Setiap harinya
kalau mau rajin bisa dapat lebih dari Rp 200 ribuan. Setiap bulan biasanya saya
bisa kasih ke istri untuk kebutuhan rumah tangga sebesar Rp 4 juta, itu sudah
bersih ya kebutuhan harian saya di luar uang itu, lebih besar dari UMR
Jakarta," tutur Deni kepada tim Tekno Liputan6.com. (Fik/Ahm)
Sumber:
Komentar
Posting Komentar